Murabbi & Peradaban

00.42

Oleh: Siti Fauziah Waruhu

Di perjalanan menuju Setia budi, dari jendela bus Trans Jakarta, tanpak jelas pemandangan macet tak terkira. Mataku tertuju ke pinggiran jalan raya, tepat di sebelahnya lampu lalu lintas dipajang. Bukan lampu lalu lintasnya yang membuat 
batin berdoa karena miris,  namun segerombolan anak usia remajalah yang sedang menjadi pusat perhatianku. Seketika, ingatan melambung jauh ke kampung halaman: Aceh.

Lalu wajah anak-anak remaja di kampung berseliweran beberapa detik,  disusul bayang wajah adikku.  Usianya sebaya dengan gerombolan  anak remaja tadi bila ditaksir. Sungguh pemandangan yang membuat hati miris dan sedih.

Bagaimana tidak, gerombolan remaja tadi melakukan suatu atraksi yang cukup ekstrim dan tak indah dipandang hati. Berlarian menerobos jalan Raya membuat klakson menjerit-jerit saling sahut dengan pakaian kucel yang amburadul ditambah asap rokok yang mengepul dari beberapa orang diantara mereka.
Pak Polisi yang berjaga di lalu lintas agaknya kewalahan saat memberhentikan mereka dengan teriakannya. 
Tak ada ketakutan dari reaksi mereka selain tertawa puas.

Di Kampungku, anak-anak remaja banyak yang berkutat dengan ladang atau lautan membantu orangtuanya mencari nafkah jika pulang sekolah. Sorenya mereka berangkat ke Mesjid atau Mushollah, mengaji dan bergantian menjadi Muadzin bagi yang laki-laki.

Tapi ini bukan berarti aku sedang mempamerkan kondisi anak remaja di kampungku, namun diam-diam aku menyepakati pertanyaan yang tepat, kemudian akan segera terjawab sendiri dengan nalar warasku. "Generasi Masa Depan, akan lahir dari mana?

Masih macet,
dan aku masih dibersamai  kesabaran yang kualitasnya menurutku, bersumber dari tilawah yang sudah kuselesaikan sehabis qiyamul-lail semalam.

Tetiba aku teringat sebuah pesan Allah yang sudah lama kujadikan motto departemen Kaderisasiku di Lembaga Dakwah Fakultas:

“….Jadilah kalian kaum Rabbani (pencinta Tuhan) karena kalian selalu mengajarkan kitab (Alqur’an) dan selalu mempelajarinya.” ( Q.S Ali-Imran:79)

Andaikan Rasulullah Saw, tak pernah diutus ke dunia 14 abad yang lalu apa jadinya dunia hari ini. Apa yang akan kita ketahui tentang jejak sejarahnya islam rahmatan lil’alamin di segala penjuru. Tak akan merasakan setitikpun kenikmatan bernama kebebasan terarah.
 
Penindasan, perbudakan, kemiskinan, pembantaian, kebodohan dan lain-lain kini mulai bangkit dengan skala cepat.

Dunia kita krisis teladan memang. Sulit menemukan teladan yang baik. Kita seolah hidup di bawah kezhaliman penguasa, mirisnya lagi bahwa ke’seolahan’ itu benar-benar ada. Tidak perlu repot menemukannya, bahkan tanpa dicari penzhaliman itu hadir di tengah-tengah kita. Penzholiman dari penguasa kepada rakyatnya, kezhaliman rakyat terhadap penguasa bahkan kezaliman antara rakyat-dengan rakyat. Ini benar-benar terjadi. Negeri kita misalkan .

Perhatikan kondisi Penguasanya, rakyatnya dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, budaya, dan lain sebagainya. Ah ya. Mungkin terlalu luas jika berbicara kondisi kenegaraan yang terlihat dan terasa carut marut. Baiklah, mari perhatikan dan analisis kondisi kampus kita. Apa yang kita temukan? Konon, katanya kampus adalah laboratoriumnya mahasiswa dalam bereksprimen atau berkarya.

Dari kampus juga mahasiswa ini tercetak ragam ke'mahasiswa'annya. Ragam kelakuannya, ragam kepribadiannya, ideologinya, ragam ber'agama'nya maupun ragam lain-lainnya. Ragam tersebut, pada akhirnya tertakdir menjadi siklus kehidupan yang bergenerasi; kembali ke Masyarakat dan menjadi 'sesuatu' di masyarakat.

Dari sinilah siklus peradaban berlanjut. Berlanjut estafet ke'khas'annya sebagai alumni-alumni kampus.
Ada alumni yang jahiliah lalu menjahiliahkan generasinya. Ada yang beradab dan meregenerasikan keberadabannya.

Generasi jahiliah menjadikan kita krisis teladan kebaikan sebagai arsitek peradaban. Jelas. Bahkan jika ditelaah ulang, ke-krisisan tersebut berawal dari aspek spiritual.

Seberapa pentingnya spiritual?
“Ketika membaca sejarah peradaban, kita akan menemukan satu kaidah bahwa pada saat peradaban sedang NAIK, maka sesungguhnya peradaban tersebut sedang dikendalikan oleh ruh
.
Sementara ketika perdaban sedang MENDATAR maka yang mngendalikannya adalah rasio atau akal.

Dan ketika peradaban sedang menukik TURUN, maka berarti ia sedang dikendalikan oleh syahwat atau hawa nafsu”. Begitu paparan ust. Anis Matta.

Memang, ada yg akan berujar bahwa peradaban Barat, meski tak sepenuhnya disokong oleh Spiritualitas, tapi toh tetap saja menjadi negara-negara berkependudukan yang eksis dengan kemajuan di berbagai aspek. Tapi jangan lupa,  bahwa kemajuan yang “semu” tiadalah keberkahan membersamainya.

Kita belajar dari sirohnya Umar bin Khattab. Sosok pegulat yang dielu-elukan di pasar Ukazh setiap minggunya, akan selamanya menjadi pegulat yang dielu-elukan pada masa jahiliahnya, menjadi sosok penyembah Berhala lalu memakan sesembahannya bila didera lapar jika TANPA  Spiritualitas.

Spritualitas sang Umar bermula ketika jiwanya  dirasuki hidayah yang menghantarkannya berhijrah. Siapa yang berperan dalam proses hijrahnya Umar menuju kebermanfaatan hidup yang melegenda? Tentu saja tak lepas dari perannya seorang Murabbi (guru) terbaik sepanjang zaman; Rasulullah Saw.

Begitulah fakta  menceritakan kisahnya di hadapan kita. Betapa seorang Murabbi sangatlah dibutuhkan.

“Jika Rasulullah adalah guru terbaik sepanjang zaman, berarti zaman sekarang tidaklah membutuhkan “manusia” seperti kita untuk menjadi Murabbi.
Dan satu hal bahwa menjadi Murabbi bukanlah perkara mudah, tanggung jawabnya besar”. Sanggahan seseorang dalam sebuah diskusi.

Seseorang yang telah menyatakan diri sebagai muslim yang telah menginfakkan seluruh jiwa-raganya untuk islam aku  rasa kurang pantas bila menjawab “tidak”, dengan alasan tidak siap bekal.

Memang benar, menjadi Murabbi merupakan tanggung jawab besar, sangat besar. Lantas apakah dengan besarnya tanggung jawab ini kita harus mundur?
Apakah ketiadaan bekal adalah alasan yang cukup untuk mundur?

Rasa minder itu pasti ada,
dan untuk urusan begini justru wajib minder, karena dari minder inilah muncul motivasi untuk belajar lebih. Mempersiapkan diri lebih dan lebih. Karena syarat mutlak dari memberi adalah terlebih dahulu memiliki. Apa yang akan kita beri jika kita tidak memiliki sesuatupun untuk diberikan?

Sebuah pemikiran. Jika tidak tersedia bekal ya segera kumpulkan.
Jika tanggung jawab ini terlalu besar, berarti kita harus membesarkan diri kita untuk mampu membawa ini semua. Semua ada harganya, apakah kita rela menukar itu semua dengan kemenangan Yahudi laknatullah? Kita ini sedang berperang Saudaraku.

Membuka memori tetang Murabbi kita. Beliau bisa, kita sama-sama manusianya dengan beliau. Apa alasan kita yang ketika diseru untuk membina sekelompok generasi begitu seringnya menjawab “saya tidak bisa” Saya tidak pantas menjadi Murabbi”
.
Maka disini aku bantu untuk memberi jawaban jika kelak kembali diseru ”beri kesempatan untuk saya belajar, dan mohon bimbingannya".

Suatu kali aku diamanahkan mendata Mahasiswa/i Muslim yang diseru untuk bersedia jadi murabbi/mentor.
Jawaban yang kuterima aneka ragam, variatif.

Ada yang merespon dengan kalimat:  "Jadi mentor, ngapain?. Oke, tapi tidak berkelanjutan, hanya untuk  masa perkenalan akademik saja ya !.
Maaf, saya tidak bersedia!, dll".

Hal yang membuat hati  merenung atas sebuah responan diantara responan tadi adalah dari seseorang (awalnya tidak  pernah tahu bahwa beliau adalah seorang Tunanetra, jurusan PLB) dengan bahasa tawadhunya(menurutku):
“Alhamdulillah kalau  saya dipercayakan untuk membina. Tapi apakah kakak yakin meminta saya untuk jadi Mentor  sementara kondisi saya seperti ini.. terus apakah akan ada yang mau dibina oleh saya ka nantinya? blabla.)

Masyaa Allah. Responan sms tadi masuk setelah beberapa menit hati  lumayan kesal karena responan dari orang-orang yang dianggap atau diharap bersedia tapi ternyata merespon seruan dengan “sedemikiannya”.
Padahal Allah telah  melengkapi fisik yg sehat  dan menganugrahi ilmu untuk bekal dalam membina.

Ingin rasanya bertanya, dikemanakan ilmu-ilmu keTarbiyahan-setelah diTarbiyah selama ini?

Sedikit memendam  kesal yang sebenarnya sedang mendobrak-dobrak jiwa untuk  bersuara lantang. Tapi ya sudahlah, toh bukankah sebermulanya  amal yang disambut dengan suka maupun tidak suka setidaknya ada kualitas keimanan yang mempengaruhinya??

Bagaimanapun, betapa lamanya  seseorang bersama Tarbiyah tidak ada jaminan bahwa ia adalah orang yang paham sepenuhnya akan visi misi dakwah ini, apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya berkonstribusi.
Bagi orang yang belum pernah membina, bahkan akan menjadi pengalaman pertamanya, Membina bisa jadi sebuah momok yang menakutkan dan hiper minderpun menjangkiti. Untuk hal ini masih bisa dimaklumi.

Namun, bagaimana dengan seseorang yang  punya ilmu lebih? Mungkin cacat bukan fisik atau ilmunya melainkan hal lain yang sulit terdeteksi.